Apa Intelijen Bisa Salah?
Intelijen diawaki oleh petugas-petugas handal yang telah melalui proses ‘recruitment’ , dididik secara berjenjang sesuai dengan kepentingan organisasi pengguna. Ada petugas penyelidikan, petugas pengamanan dan penggalangan. Ada juga petugas yang melakukan fungsi intelijen tempur. Petugas intelijen negara melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) sembilan komponen intelijen strategis, baik terhadap musuh ataupun calon musuh. Selain juga melakukan pulbaket di dalam negeri. Sementara intelijen militer melakukan pengumpulan informasi tentang ‘Order of battle’ (Orbat) yang biasanya disebut sebagai susunan bertempur musuh. Kelemahan dan kerawanan dalam organisasi intelijen yang kadang tidak disadari, apabila ada personilnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan intelijen tapi bertugas didalamnya. Personil tersebut jelas tidak mempunyai “sense of intelligence.” Cepat atau lambat dia akan menimbulkan kerugian. Badan intelijen disebuah negara bertanggung jawab memberikan saran masukan kepada pimpinan nasional terhadap sebuah keputusan, karena itu intelijen tidak boleh salah, bisa fatal akibatnya.
Dari pertanyaan diatas, apa intelijen bisa salah? Jawabannya adalah bisa. Karena, intelijen pada awalnya sangat tergantung kepada dua hal yaitu sumber informasi, kemudian isi informasi. Sehebat apapun analis handal mengolahnya, apabila salah satu dari dua kriteria esensial diatas tidak terdeteksi nilai kebenarannya, maka apa yang disajikan kepada user bisa menjadi tidak layak. Artinya tidak layak santap, basi ataupun bisa juga justru menjadi racun bagi pemimpin tertinggi. Ini kadang yang sangat merugikan dalam pengambilan sebuah keputusan. Baik kepala badan intel itu sendiri, pimpinan yang membutuhkan, panglima misalnya atau bisa juga pimpinan nasional sebuah negara. Keputusan ataupun saran keputusan yang salah akan dapat menyebabkan kerugian yang kadang tidak ternilai harganya.
Contoh dari sebuah kesalahan intelijen pernah penulis ungkapkan di Kompasiana dalam artikel dengan judul Intelijen, Presiden dan Keputusan. Inilah sebagian cuplikannya ; ”Presiden George Walter Bush yang akan turun dari tahta sebagai presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2009, untuk pertama kalinya mengakui kegagalan intelijen terhadap Irak adalah ‘penyesalan terbesarnya’ selama delapan tahun pemerintahannya, demikian yang disampaikan kepada ABC TV. Dikatakannya, banyak orang yang mempertaruhkan reputasinya bahwa senjata penghancur massal (SPM) adalah salah satu alasan untuk menggulingkan Saddam Hussein.” Setelah sekian lama berjalan, dimana sejak 20 Maret 2003, AS melakukan ‘Operasi Pembebasan Irak,’ ternyata SPM tidak ditemukan. Sedamngkan tujuan awal yang ditetapkan adalah melucuti SPM Irak, mengakhiri dukungan Sadam Hussein kepada teroris, dan memerdekakan rakyat Irak.
Sebagai akibat dari perang sia-sia tersebut, Associated Press memberitakan hingga 4 April 2009, AS telah kehilangan nyawa 4.265 prajuritnya, sementara militer AS memberitakan korban yang tewas 3.425 orang. Konon, anggaran yang digelontorkan untuk perang tersebut mencapai sekitar USD 694 miliar. Kini, dengan susah payah, Presiden terpilih Barrack Obama sesuai dengan janji kampanye, mulai menarik pasukan tempur AS yang berada di Irak. Juga Obama harus memperbaiki luka dihati negara-negara Arab yang tidak menyukai operasi militer di Irak tersebut. Diplomasi damai Presiden Obama (soft diplomacy) nampaknya akan banyak mengurangi dan menetralisir kerugian dari sebuah keputusan destruktif yang tidak tepat dimasa lalu.
Kasus tersebut adalah sebuah contoh terbaik dalam menilai kegagalan dan kesalahan intelijen. Bisa dibayangkan Amerika sebagai negara adi daya yang serba lengkap, serba bisa dan serba mumpuni saja, ternyata intelijen-nya diakui secara jujur oleh presidennya telah membuat sebuah kesalahan. Nah, terkait dengan serangan bom mengejutkan di Marriott jilid dua dan Ritz Carlton, Presiden SBY menyampaikan sikap negara Indonesia terhadap teroris. “Ini intelijen, bukan rumor, bukan isu, bukan gosip.” Kemudian presiden membeberkan foto-foto dirinya sebagai target latihan nembak oleh orang yang disebut intelijen sebagai teroris.
Dari postingan Wisnu Nugroho wartawan kompas di Istana itu pernyataan presiden adalah, “Masih berkaitan dengan intelijen, diketahui ada rencana untuk melakukan kekerasan dan tindakan melawan hukum berkaitan dengan hasil pemilu. Adapula rencana untuk pendudukan paksa KPU pada saat nanti hasil pemungutan suara diumumkan. Ada pernyataan akan ada revolusi jika SBY menang.” Selanjutnya dikatakan, “Ada pernyataan kita bikin Indonesia seperti Iran. Dan yang terakhir ada pernyataan, bagaimanapun juga SBY tidak boleh dan tidak bisa dilantik. Saudara bisa menafsirkan apa arti ancaman seperti itu.”
Saat beliau menyampaikan pernyataan, nampak nada geram, marah tak terkira kepada teroris. Sudah mati-matian menjaga pemilu tidak kacau, mendadak semuanya menjadi kacau balau hanya karena dua bom itu. Entah bagaimana, pernyataan tersebut yang dilakukan tanpa membaca teks langsung sepenuhnya akhirnya disimpulkan oleh masyarakat sebagai tuduhan serangan bom terkait dengan pilpres. Menyentuh drakula dan orang yang pernah terlibat penghilangan orang dimasa lalu dan masih bebas. Ini kemudian menjadi ’santapan media’. Ada kesan kemudian pernyataannya mengarah ke Prabowo. Ini kemudian yang menjadi polemik. Prabowo menyatakan siap ’sowan’ ke Presiden untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pertanyaannya kini. Apa intelijen salah?. Menurut penulis tidak salah, informasi yang masuk ya demikian adanya. Dinegara ini memang masih ada saja yang mau merusak kesatuan dan persatuan, tidak suka negeri ini tenteram. Lebih jauh lagi, ada yang mengharapkan negara ini pecah. Buktinya ya adanya pengacau bom itu.
Pernyataan presiden ditutup dengan penjelasan “Terhadap semua intelijen itu saudara-saudara, apakah terkait dengan aksi pemboman hari ini atau tidak terkait, saya menginstruksikan kepada semua jajaran penegak hukum untuk menjalankan tugasnya dengan benar, obyektif, tegas, dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Andaikata tidak terkait ancaman-ancaman yang tadi itu, dengan aksi pemboman hari ini, tetaplah harus dicegah, harus dihentikan, karena anarki, tindakan kekerasan, pengrusakan, tindakan melawan hukum bukan karakter demokrasi, bukan karakter negara hukum.” Pernyataan ini menegaskan, bahwa intelijen benar dan dapat dipercaya, pesan psikologisnya, agar mereka yang berniat itu, jangan diteruskan.
Nah, itulah sedikit gambaran tentang peran sebuah informasi intelijen disebuah negara. Tentang bagaimana intelijen akan dipergunakan, semua tergantung kepada keputusan user. Karena intelijen adalah informasi matang yang kadang sensitif, menyikapinya harus dengan tenang dan dingin. Kesimpulan intelijen bisa saja sangat mengerikan, bayangkan akan terjadinya revolusi, ada sniper yang sudah jelas menetapkan SBY sebagai TO (Target Operasi), ada demo besar seperti Iran, ada pendudukan KPU. Terus ditambah ada bom meledak di dua hotel di Jakarta pula. Dan saat itu belum ada yang tahu pasti siapa yang ngebom. Apakah semuanya bisa disikapi biasa-biasa saja?. Kita kini bersyukur tidak nampak indikasi dan gerakan yang menjurus kearah revolusi, demo, sniper dan pendudukan KPU. Atau mereka jadi takut karena pernyataan presiden itu?. Penulis melihat pernyataan Presiden lebih sebagai pernyataan sangat keras menjawab ulah teroris “Jangan main-main siapapun kamu!”…kalau warga Betawi mengatakannya “Elu Jual, Ya Gua Beli.”
PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana
Berikan Komentar anda :
Posting Komentar