English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 11 Mei 2009

Mengapa Mantan Presiden Kita Tidak Harmonis Satu Sama Lain?



Di negara lain,hari nasional merupakan kesempatan untuk mengibarkan bendera, mengadakan pawai, pidato-pidato, dan upacara yang dihadiri pembesar dalam dan luar negeri.

Demikian juga di Indonesia. Kita melihat pada 17 Agustus ini sederet tokoh duduk di panggung kehormatan. Tapi, apakah tahun ini semua mantan Presiden akan duduk merayakan 17 Agustus bersama? Selama ini tidak. Belum pernah mantan presiden duduk lengkap berderet menyaksikan presiden yang menjabat memimpin upacara.

Setelah Presiden Soekarno turun, dia tidak pernah menghadiri 17 Agustus di Istana karena ia berada dalam tahanan rumah. Setelah Presiden Soeharto turun, dia tidak ingin ketemu Presiden BJ Habibie sampai pada hari meninggalnya. Setelah Presiden Habibie turun, ia pergi ke kediamannya di Jerman dan jarang ke Indonesia.

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid turun, dia merayakan HUT Kemerdekaan bersama rakyat di Ciganjur. Setelah Presiden Megawati turun, dia tidak berhenti mengkritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Entah nanti bagaimana? Pada kesempatan 17 Agustus 2008, ini menimbulkan pertanyaan.

Tulisan ini sendiri dibuat untuk memenuhi permintaan redaksi guna menyoroti masalah tidak harmonisnya hubungan para mantan presiden Indonesia satu sama lain. Mereka terkesan saling memusuhi dan mempunyai dendam pribadi. Padahal, jika bisa saling bercengkerama, masing-masing presiden sebenarnya bisa memberikan banyak masukan yang berarti bagi bangsa ini.

Harmonisnya hubungan ini sebenarnya bisa meredam konflik di tataran grass root. Apakah ini menunjukkan kebudayaan timur yang terkenal dengan toleransi tingginya sudah meluntur? Mungkin kita bisa mencontoh hubungan para mantan presiden di luar negeri. Sekalipun misalnya mereka tidak berkawan, mereka tak bermusuhan. Mereka bisa memberi masukan kritis dan positif kepada pemerintah untuk kepentingan bangsa.

Contohnya mungkin di AS atau Mandela di Afrika Selatan yang menjadi penasihat di negara itu. Ini adalah masalah penting sebagai renungan Hari Kemerdekaan, soal-soal begini mendapatkan makna yang lebih besar, terpisah dari hiruk-pikuk sehari-hari. Masalah semacam ini tidak dapat dijawab dengan sederhana, hanya bisa diimbangi dengan suatu perspektif untuk melihat segala sesuatunya dengan lebih jernih.

Untuk kejernihan tersebut, kita harus bersedia mengakui kenyataan bahwa hubungan di antara mantan presiden Indonesia itu memang sudah tidak jernih sejak awal. Bagaimana mau dikatakan jernih kalau Soeharto adalah orang yang dengan segala akal politik menggulingkan Soekarno. Bahkan,setelah digulingkan,tidak pernah ditengok, jangankan diundang ke upacara Istana.Kemudian, Soeharto terguling oleh runtuhnya rumah kekuasaan yang ia bangun.

Menyakitkan bagi Soeharto bahwa ia lengser bukan karena tekanan mahasiswa semata, apalagi tekanan politik yang boleh dikatakan tidak ada, melainkan oleh hilangnya loyalitas pendukungnya sendiri, seperti Habibie, Harmoko, dan Ginanjar.Mundurnya Harmoko dan Ginanjar mencabut sisa dukungan terakhir yang bisa dipakai Soeharto.Ketika Soeharto mengucapkan pengunduran diri,Wakil Presiden Habibie yang ia angkat dari kalangan orang biasa bukannya mempertahankan, malah dengan semangat mengambil kekuasaan presiden.

Tidak lama kemudian, Habibie membalikkan kebijaksanaan Soeharto mengenai tahanan politik, mengenai pengendalian pers, dan mengenai Timor Timur. Saya tidak tahu apakah Pak Harto pernah diundang ke Istana, tapi rasanya absurd kalau beliau datang ke upacara Istana, dengan kekecewaan yang begitu pahit bagi orde politik yang ia bangun.Lagi pula,ia sedang di ambang pintu pengadilan dan hanya lolos dengan alasan kesehatan.

Lebih lanjut tentang tidak harmonisnya hubungan para mantan presiden kita, kita lihat kasus Habibie dan Abdurrahman Wahid. Boleh dikatakan ini adalah suksesi kepresidenan pertama dalam sejarah kita yang dilangsungkan menurut aturan. MPR melakukan pemilihan dan Gus Dur terpilih.Tidak ada permusuhan antara Habibie dengan Gus Dur,jadi kasus ini bisa dikecualikan dari daftar hubungan buruk.

Tapi, tidak juga bisa dikatakan bahwa Habibie dan Gus Dur bersahabat karena Habibie jarang berada di Indonesia setelah tidak menjabat lagi. Namanya hanya muncul dalam pengusutan korupsi yang mengorbankan anak buahnya seperti Rahardi Ramelan dan Akbar Tandjung (tidak terbukti).

Berikutnya, Gus Dur dengan Megawati. Sulit diharapkan ada hubungan harmonis. Bahkan, ganjil jika ada keharmonisan antara seorang presiden yang diturunkan di luar prosedur impeachment dengan kelompok politik yang memimpin penggusurannya, yaitu PDIP, partai yang dipimpin Wakil Presiden Megawati.

Setelah PDIP selesai melakukan pekerjaannya, Megawati dengan tenang melenggang ke kursi presiden. Masih bagus Abdurrahman Wahid tidak pernah melancarkan gerakan pembalasan terhadap Megawati dan PDIP. Ini boleh digolongkan ke dalam fatsoen politik walaupun tentunya tidak harmonis karena yang satu disisihkan oleh yang lain.

Kurang jelas, mengapa Megawati tidak senang pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pergantian ini berjalan paling fairdan menurut aturan. Ada kampanye, ada pemilihan sampai dua tahap, dan SBY menang tanpa ada keraguan dalam penghitungan suara. Jika Ibu Megawati tidak bisa bercengkerama dengan Presiden SBY, itu adalah pilihan pribadinya.

Susah juga kita yakin bahwa jika mantan presiden itu memberikan nasihat kepada presiden yang sekarang, apakah itu akan membantu banyak untuk kepentingan bangsa. Sebab, tidak terlihat perbedaan program antara Megawati dengan SBY karena memang tidak ada program yang unik.Sebetulnya program yang kita perlukan hanya satu, yaitu memberantas korupsi.

Selama korupsi belum dihadapi dengan tegas, kegiatan presiden yang lain hanyalah konsolidasi politik. Presiden SBY lebih bersih daripada presiden sebelumnya. Tapi, beliau sangat toleran terhadap orang korup dalam kabinetnya. Kebersihan SBY malah menjadi payung pelindung untuk penguasa sekelilingnya. Terakhir, masalah ini tidak ada hubungannya dengan kebudayaan timur.

Faktor yang paling mengganggu kejernihan politik adalah perlindungan terhadap korupsi dan pembangunan kekuatan politik di atas kekuatan korup. Perilaku korup ada dalam semua kebudayaan, dari timur sampai barat, dan dalam semua ideologi dari komunisme sampai liberalisme.

Tidak juga kita bisa ambil contoh dari Amerika Serikat karena pergantian rezim mereka terakhir terjadi ketika Presiden George Washington mengambil kekuasaan atas 13 wilayah yang lepas dari otoritas Raja Inggris.

Setelahnya, setiap empat tahun dari 1789 sampai sekarang dipilih seorang presiden baru dan setelah mereka turun, selama mereka sehat, tidak ada halangan untuk bercengkerama mengenai kehidupan karena mereka tidak lagi menghadapi krisis kenegaraan. Mudah saja untuk berharmoni dalam suasana demikian.(*)

Berikan Komentar anda :

Posting Komentar

Supported

Blog Terbaik Indonesia Blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! free search engine website submission top optimization Find broken links on your website for free with LinkTiger.com Top Global Site Entertainment blogs TopOfBlogs Entertainment Top Blogs Entertainment Blogs Entertainment Blogs - Blog Rankings DigNow.net Blog directory Lifestyle Blogs - BlogCatalog Blog Directory Add to Technorati Favorites

  ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO