Menjadi Pasien Cerdas
PENYEBAB pasti meninggalnya raja pop Michael Jackson masih meninggalkan tanda tanya. Namun, peristiwa ini tak urung membuat masyarakat lebih waspada akan efek pemakaian obat berlebih.
Saat Michael Jackson dinyatakan tutup usia pada 25 Juni silam, publik dunia serentak terhenyak. Kala itu, sang megabintang dinyatakan meninggal akibat serangan jantung. Namun, isu kesehatan terus bergulir hingga berkembang rumor bahwa nyawa pelantun "Heal the World" itu tak tertolong lagi lantaran overdosis obat-obatan yang diberikan dokter yang mendampinginya kala maut menjemput. Dugaan lainnya, sang dokter melakukan kesalahan dalam memberikan bantuan CPR (Cardio Pulmonary Resusitation) hingga menyebabkan tulang rusuk Michael patah.
Beragam spekulasi masih terus berkembang. Di sisi lain, hal ini meningkatkan kewaspadaan masyarakat, terutama warga Amerika, akan bahaya pemakaian obat yang tidak tepat atau berlebih. Ya, berkaca dari kasus Michael, warga Negeri Paman Sam seolah lebih "terjaga" akan bahaya penyalahgunaan obat-obatan, termasuk risiko overdosis obat resep.
Hal ini terlihat dari survei yang dilakukan American Society of Health-System Pharmacists (ASHP), awal bulan ini. Survei dilakukan dengan mewawancarai lebih dari 200 ahli farmasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 28 persen mengatakan bahwa pasca-meninggalnya Michael Jackson, para pasien mengajukan lebih banyak pertanyaan perihal risiko penggunaan obat-obatan pengurang rasa sakit (pain killer).
"Manakala penyebab kematian Michael Jackson masih simpang siur, perhatian publik media menjadi terbuka untuk berdialog mengenai aspek bahaya dari penyalahgunaan obat resep," ujar Presiden ASHP, Lynnae M Mahaney.
Ia mengemukakan, obat-obatan dapat memberi perubahan yang besar bagi orang-orang yang mengalami nyeri kronis dan orang-orang ini memang sudah seharusnya melakukan perawatan. "Akan tetapi, obat-obatan ini biasanya sangat kuat dan apabila penggunaannya tidak tepat dapat mengakibatkan hal serius, bahkan kematian," imbuhnya.
Untuk itulah ahli farmasi, khususnya mereka yang telah terlatih dalam mengendalikan rasa nyeri, dapat memberikan panduan atau bimbingan dalam melakukan terapi rasa nyeri. Hal ini ditujukan untuk meminimalisasi risiko penyalahgunaan dan ketergantungan obat.
Di lain pihak, setiap pasien diharapkan dapat menjadi "polisi" bagi dirinya sendiri. Artinya, ia harus cermat dan kritis bertanya kepada dokter atau mencari informasi tentang terapi yang dijalani ataupun jenis obat yang akan dikonsumsi.
Manakala Anda sakit, terluka atau mengalami kecelakaan, otomatis diperlukan obat. ASHP menyarankan beberapa tips, misalnya mengumpulkan daftar obat-obatan yang Anda gunakan, baik dosis maupun frekuensinya. Dengan begitu Anda dapat memantau obat yang Anda gunakan. Selain itu, Anda juga disarankan membuat data untuk diberikan kepada ahli farmasi Anda ataupun penyedia layanan kesehatan lainnya.
Ingatlah bahwa setiap pasien, termasuk Anda, berhak diselamatkan. Tanggung jawab tak hanya kepada petugas medis, juga si pasien sendiri. Sayangnya, umumnya pasien di Indonesia masih "pasif", dalam arti menerima begitu saja apa yang diberikan dokternya.
Kurangnya pengetahuan membuat mereka percaya apa pun diagnosis dan tindakan medis yang diberikan. Di sisi lain, dokter sendiri pun terkadang enggan membangun komunikasi. Sering kali pasien hanya datang, duduk, ditanyai keluhannya, diperiksa, lalu tahu-tahu dokter sudah menuliskan resep. Tak ada komunikasi mendalam.
"Kalau di luar negeri seperti Inggris, pasiennya kritis bertanya. Sebelum dokter bertanya, mereka sudah nanya duluan: 'Dok, betul mau periksa saya? Sudah cuci tangan belum?'. Jadi tidak ada gap dalam hubungan pasien-dokter," ujar Dr Adib A Yahya MARS dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
Empowering atau memberdayakan pasien sangat penting untuk meminimalisasi kesalahan medis (medical error). Sebab, rumah sakit yang bermutu pun bukan jaminan keselamatan pasien. Bayangkan, di rumah sakit ada banyak jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf RS yang cukup banyak. Kondisi yang demikian tentu potensial bagi terjadinya kesalahan.
Untuk itulah, Adib menilai perlunya edukasi dan keterlibatan pasien. Caranya, dengan mendidik pasien dan keluarganya. Hal sederhana seperti saat transfusi darah misalnya, keluarga pasien diminta ikut mengawasi. Pasalnya, pernah ada kejadian di mana pasien menerima jenis golongan darah yang keliru.
"Dokter, pasien, dan keluarga adalah satu tim sehingga ketika terjadi kesalahan, yang salah adalah tim, bukan semata-mata dokternya. Selama ini sikap blaming (menyalahkan) sering terjadi. Padahal tidak ada suatu medical error yang murni kesalahan dokter, pasti ada faktor penyebab lain seperti lingkungan atau sistem yang buruk," papar dokter yang berdomisili di Kramat Jati, Jakarta Timur ini.
Lembaga Kesehatan Dunia, WHO, juga cukup menaruh perhatian terhadap layanan kesehatan yang aman (safe care) atau disebut patient safety. Pada Oktober 2004 silam, WHO dan berbagai lembaga mendirikan World Alliance for Patient Safety yang tujuannya, antara lain menurunkan morbiditas, cedera, dan kematian pasien.(Koran SI/Koran SI/tty)
Saat Michael Jackson dinyatakan tutup usia pada 25 Juni silam, publik dunia serentak terhenyak. Kala itu, sang megabintang dinyatakan meninggal akibat serangan jantung. Namun, isu kesehatan terus bergulir hingga berkembang rumor bahwa nyawa pelantun "Heal the World" itu tak tertolong lagi lantaran overdosis obat-obatan yang diberikan dokter yang mendampinginya kala maut menjemput. Dugaan lainnya, sang dokter melakukan kesalahan dalam memberikan bantuan CPR (Cardio Pulmonary Resusitation) hingga menyebabkan tulang rusuk Michael patah.
Beragam spekulasi masih terus berkembang. Di sisi lain, hal ini meningkatkan kewaspadaan masyarakat, terutama warga Amerika, akan bahaya pemakaian obat yang tidak tepat atau berlebih. Ya, berkaca dari kasus Michael, warga Negeri Paman Sam seolah lebih "terjaga" akan bahaya penyalahgunaan obat-obatan, termasuk risiko overdosis obat resep.
Hal ini terlihat dari survei yang dilakukan American Society of Health-System Pharmacists (ASHP), awal bulan ini. Survei dilakukan dengan mewawancarai lebih dari 200 ahli farmasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 28 persen mengatakan bahwa pasca-meninggalnya Michael Jackson, para pasien mengajukan lebih banyak pertanyaan perihal risiko penggunaan obat-obatan pengurang rasa sakit (pain killer).
"Manakala penyebab kematian Michael Jackson masih simpang siur, perhatian publik media menjadi terbuka untuk berdialog mengenai aspek bahaya dari penyalahgunaan obat resep," ujar Presiden ASHP, Lynnae M Mahaney.
Ia mengemukakan, obat-obatan dapat memberi perubahan yang besar bagi orang-orang yang mengalami nyeri kronis dan orang-orang ini memang sudah seharusnya melakukan perawatan. "Akan tetapi, obat-obatan ini biasanya sangat kuat dan apabila penggunaannya tidak tepat dapat mengakibatkan hal serius, bahkan kematian," imbuhnya.
Untuk itulah ahli farmasi, khususnya mereka yang telah terlatih dalam mengendalikan rasa nyeri, dapat memberikan panduan atau bimbingan dalam melakukan terapi rasa nyeri. Hal ini ditujukan untuk meminimalisasi risiko penyalahgunaan dan ketergantungan obat.
Di lain pihak, setiap pasien diharapkan dapat menjadi "polisi" bagi dirinya sendiri. Artinya, ia harus cermat dan kritis bertanya kepada dokter atau mencari informasi tentang terapi yang dijalani ataupun jenis obat yang akan dikonsumsi.
Manakala Anda sakit, terluka atau mengalami kecelakaan, otomatis diperlukan obat. ASHP menyarankan beberapa tips, misalnya mengumpulkan daftar obat-obatan yang Anda gunakan, baik dosis maupun frekuensinya. Dengan begitu Anda dapat memantau obat yang Anda gunakan. Selain itu, Anda juga disarankan membuat data untuk diberikan kepada ahli farmasi Anda ataupun penyedia layanan kesehatan lainnya.
Ingatlah bahwa setiap pasien, termasuk Anda, berhak diselamatkan. Tanggung jawab tak hanya kepada petugas medis, juga si pasien sendiri. Sayangnya, umumnya pasien di Indonesia masih "pasif", dalam arti menerima begitu saja apa yang diberikan dokternya.
Kurangnya pengetahuan membuat mereka percaya apa pun diagnosis dan tindakan medis yang diberikan. Di sisi lain, dokter sendiri pun terkadang enggan membangun komunikasi. Sering kali pasien hanya datang, duduk, ditanyai keluhannya, diperiksa, lalu tahu-tahu dokter sudah menuliskan resep. Tak ada komunikasi mendalam.
"Kalau di luar negeri seperti Inggris, pasiennya kritis bertanya. Sebelum dokter bertanya, mereka sudah nanya duluan: 'Dok, betul mau periksa saya? Sudah cuci tangan belum?'. Jadi tidak ada gap dalam hubungan pasien-dokter," ujar Dr Adib A Yahya MARS dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
Empowering atau memberdayakan pasien sangat penting untuk meminimalisasi kesalahan medis (medical error). Sebab, rumah sakit yang bermutu pun bukan jaminan keselamatan pasien. Bayangkan, di rumah sakit ada banyak jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf RS yang cukup banyak. Kondisi yang demikian tentu potensial bagi terjadinya kesalahan.
Untuk itulah, Adib menilai perlunya edukasi dan keterlibatan pasien. Caranya, dengan mendidik pasien dan keluarganya. Hal sederhana seperti saat transfusi darah misalnya, keluarga pasien diminta ikut mengawasi. Pasalnya, pernah ada kejadian di mana pasien menerima jenis golongan darah yang keliru.
"Dokter, pasien, dan keluarga adalah satu tim sehingga ketika terjadi kesalahan, yang salah adalah tim, bukan semata-mata dokternya. Selama ini sikap blaming (menyalahkan) sering terjadi. Padahal tidak ada suatu medical error yang murni kesalahan dokter, pasti ada faktor penyebab lain seperti lingkungan atau sistem yang buruk," papar dokter yang berdomisili di Kramat Jati, Jakarta Timur ini.
Lembaga Kesehatan Dunia, WHO, juga cukup menaruh perhatian terhadap layanan kesehatan yang aman (safe care) atau disebut patient safety. Pada Oktober 2004 silam, WHO dan berbagai lembaga mendirikan World Alliance for Patient Safety yang tujuannya, antara lain menurunkan morbiditas, cedera, dan kematian pasien.
Berikan Komentar anda :
Posting Komentar